Semalam di Rancabuaya (bagian 3)


Saat itu, 6 Agustus 2010 –ya Tuhan, saya baru sadar bahwa tulisan ini dibuat tepat setahun kemudian- kami sekeluarga berangkat selepas maghrib dari Garut menuju Pameungpeuk menggunakan sebuah mobil van dan sebuah jip kecil. Sejenak kami mampir di sebuah rumah makan ayam goreng di tengah kebun teh di kawasan Cikajang, cuaca saat itu sangat berkabut. Selesai makan kami beegegas melanjutkan perjalanan, ayah menyuruh saya memandu di depan. Lampu kabut pun dinyalakan dan kendaraan kami berjalan perlahan menyusuri lereng perkebunan teh dan hutan.
Sampai di kota kecamatan Pameungpeuk sekitar jam 11 malam, kabut sudah hilang sejak tadi berganti hawa pantai dan saya pun kembali mempersilahkan ayah untuk kembali memandu di depan. Untuk menuju Rancabuaya, dari Pameungpeuk kami berbelok ke kanan, melewati kota kecamatan, pantai Sayang Heulang dan terus ke barat hingga masuk jalur lintas selatan Garut. Jalannya sudah di beton walau kadang masih ada yang rusak, pohon ketapang (Ficus lyrata) berjejer di kiri kanan jalan. Suasana gelap dan sepi, lampu penerangan jalan belum banyak, hanya yang ada perkampungan saja yang agak terang selebihnya masih gelap.
Tidak banyak yang bisa dilihat selain jalan di depan kami, kami cuma tahu menanjak, menurun, melewati jembatan sampai akhirnya kami tiba di sebuah pondokan tepat jam 12 malam. Begitu memasuki kompleks villa yang hanya terdiri dari dua buah cottage, sebuah pendopo dan rumah penjaga vila, kami langsung disuguhi suara ombak yang menggelegar bersahutan dan terpaan angin samudra. Suasana terasa begitu romantis, dengan penerangan alakadarnya kami duduk-duduk sejenak di pendopo sebelum memasuki cottage.
 









Usai shalat shubuh saya keliling cottage berharap bisa melihat sun-rise, tapi karena posisinya tepat menghadap selatan sun-rise pun tidak terlihat seperti yang di bayangkan. Barulah setelah hari makin terang, keindahan pantai selatan pun mulai nampak. Agak jauh di sebelah kanan cottage terlihat sebuah karang besar yang membentuk semenanjung kecil yang menjorok ke laut, di atasnya tampak ada sebuah gazebo. Saya fikir kalau tahu dari semalam, mungkin dari tanjung itu kita bisa hunting si sun-rise tadi, tapi sudahlah, sekarang kami pun tak sabar untuk segera menyusuri pematang sawah menuju ke pantai.


Selagi yang lain asik bermain di tepi pantai, diam-diam saya menyalakan jip kecilku, saya ingin pergi ke semenanjung itu dan membawa jipku mandi di laut. Semenanjung karang yang terlihat dari cottage itu –maaf, saya lupa namanya- hanya berjarak sekitar 1,5 – 2 km saja. Benar saja, dari atas ujung semenanjung karang itu pemandangan sungguh luar biasa. Hamparan Samudera Hindia terbentang begitu luasnya, dan garis pantai Garut selatan yang memanjang di kiri dan kanan. Jika melihat ke bawah, ombak besar berkejaran begitu menggetarkan hati. Beberapa hewan ternak tampak asik makan di padang rumput dan semak rendah berdaun lebar di atas karang itu tanpa ada seorangpun yang mengganggu.
 
Lalu saya pun mencari jalan untuk bisa membawa kendaraan dari jalan raya ke bibir pantai, ternyata yang ada hanya jalan setapak licin dan sempit dengan jurang dan sungai kecil di sebelahnya. “Oke lah, test skill…!” pikirku. Transfer-case  dimasukkan ke gigi rendah dan penggerak empat roda pun diaktifkan. Pelan-pelan dan hati-hati saya berusaha menuruni jalan setapak itu, sedikit saja kesalahan bisa fatal akibatnya, dan akhirnya saya pun tiba di tepi pantai lalu menyebrangi muara dan mengejutkan keluargaku yang masih asik bercengkrama di pantai.
7 Agustus 2010 jam 2 siang kami pun berkemas untuk pulang. Puas sudah bermain di kawasan pantai Rancabuaya, menikmati pemandangan dari semenanjung karang, memacu adrenalin dengan off-road yang walaupun track pendek tapi cukup menantang, makan ikan bakar yang sudah disiapkan penjaga villa. Terimakasih Tuhan untuk semua keceriaan ini.





Untuk mengenang ayah kami.
5 Juni 1946 – 2 April 2011