Kembalikan Ramadhanku Yang Dulu


            Anakku pulas menelungkup di atas bantal. Istriku terlelap di bawah selimut. Dan aku… aku masih tertegun memandangi langit-langit ruang tamu, dengan sebatang rokok terselip di antara telunjuk dan jari tengah ditemani sisa kopi tadi pagi. Entah apa yang menahanku berlama-lama disitu. Di suatu malam di bulan yang dulu terasa begitu spesial diantara bulan-bulan lainnya. Bunyi petasan terdengar di sekeliling rumahku, kadang terdengar jauh, kadang seperti tepat di samping teligaku. Anak-anak terdengar berlarian, dengan gelak tawanya yang terdengar puas.
            Tawa mereka membawaku kembali ke masa kecilku, saat-saat di bulan seperti ini. Bulan yang selalu kutunggu setiap tahunnya, bulan dengan aura begitu berbeda. Bulan dimana segalanya begitu menyenangkan. Bulan dengan orkes alat dapur yang ditabuh setiap dini hari keliling kampung. Bulan dengan malam-malam dimana anak-anak diperbolehkan keluar untuk bermain dan pulang agak larut.
Peupeucangan -mungkin sekarang tidak banyak anak yang tau permainan itu- kombinasi antara kucing-kucingan dan petak umpet. Permainan yang hanya kami mainkan di malam-malam pada bulan seperti ini. Terdiri dari dua grup, satu grup jaga dan lainnya sembunyi. Area permainannya luas, hampir meliputi setengah komplek –lebih tepatnya kampung- kami. Jalan raya Bandung-Garut, gedong pilem (satu-satunya bioskop misbar yang ada di kampung kami yang kalau siang dijadikan lapangan badminton), sawah yang saat ini sudah tidak terlihat lagi dan sungai yang saat ini lebih mirip selokan adalah batas-batas area permainan. Kami mengatur strategi, berlarian, mengendap-endap, saling menutupi posisi satu sama lain, seperti sekelompok pasukan elit kami menyerang dan lari sembunyi.
BMX Bikers, Linggajaya-1985
Siang hari, empat, lima anak biasanya berkumpul. Menikmati perut yang keroncongan dan melupakan dahaga di kerongkongan. Halma, Ludo, Ular Tangga, Monopoli bahkan kartu remi adalah senjata pengusir jemu. “Bulao” (serbuk pencuci pakaian berwarna biru) yang telah dilarutkan siap menghiasi wajah-wajah yang kalah. Kekeh-kekeh kelicikan dan makian anak yang dicurangi kemudian pulang sambil menangis. Yang lain mengulum tawanya sampai anak itu keluar dari pagar rumahku, dan pecahlah tawa kami.
Dulu suasana rumahku begitu full-house. Sepupu, paman, saudara ibu dan bapak dari desa banyak yang tinggal di rumahku. Sehingga kita sering membuat shalat jamaah sendiri di rumah, lagi pula dulu belum ada masjid jami di kampung ini. Adzan maghrib berkumandang, setelah shalat baru kami berkumpul lesehan di tengah rumah untuk makan malam. Suatu kali aku pernah dihukum bapakku tidak dapat makan malam karena kenakalanku, aku menangis di pojokan sampai ibuku menyelundupkan sepiring nasi dan beberapa tusuk sate ayam. Selepas makan kami sejenak menghela nafas, merasakan perut yang kekenyangan. Sebagaimana kebanyakan orang Indonesia, beberapa orang dewasa mulai menyalakan rokok, aku berlari ke luar rumah melihat-lihat barangkali ada temanku yang sudah menunggu di luar untuk sama-sama menyalakan kembang api atau petasan.
Isya-pun di lumpsum (meminjam istilah kondektur bus) dengan shalat sunat berjamaah yang hanya ada di bulan ini. Pamanku yang jadi imam. Bapakku yang slenge’an mulai kumat juga kenakalannya. Kalau tidak melempar kopiah sepupuku dari belakang ke depan, mendorong pantat saudaraku yang lain pada saat ruku’. Kami semua berusaha sekuat tenaga menahan tawa, tapi sayang tidak ada yang berhasil. Akhirnya raka’at itu pun di-diskualifikasi dan diulang. Kulihat ke pojok, ibuku masih tertawa kegelian sampai mengeluarkan air mata.
Di malam yang lain, sebuah kaleng bekas terlihat bergerak sendiri di tengah jalan, orang yang melintas pun tertegun sejenak dengan wajah pucat, kepalanya diam tapi matanya melirik ke kiri ke kanan, lalu terdengar tawa anak kecil dari sebuah rumah kosong, orang itu pun lari tunggang langgang. Melihat itu kami pun terbahak di balik pagar rumah kosong tadi setelah menarik kaleng bekas yang diikat oleh benang layangan dan ditarik dari jauh. “Pék siah, barudak téh barangor tah…!” bentak salah seorang tetua kampung, kami pun berloncatan dari balik pagar dan lari sekencangnya sambil terus tertawa geli.
Pagi di bulan ini biasanya sepi karena banyak yang tidur lagi sesudah sahur. Sepulang kuliah shubuh di mesjid yang agak jauh dari rumah, aku dan seorang temanku melakukan eksperimen peluncuran roket dari atas atap rumah. Landas pacunya adalah pipa pralon bekas berdiameter satu inchi dengan panjang kurang lebih satu meter. Aku memegang pralon, temanku menyalakan sumbu. “Tiga… dua… satu…” gumam kami, dan roket pun meluncur. Diluar dugaan, roket menukik tajam ke arah perkampungan padat tepat di belakang rumahku dan meledak di sana. Kontan saja para penghuni pemukiman padat itu pun keluar dan mencari siapa biang kerok di balik serangan roket yang telah mengganggu lelap mereka, lengkap dengan makian khas urang Sunda. Kami tiarap serendahnya menunggu situasi aman.
Bulan ini dengan sejuta kenakalan khas kanak-kanak berlalu dari tahun ke tahun, dan biasanya aku berhasil menyelesaikannya “dengan baik”. Sampai aku beranjak remaja, bulan yang indah inipun tak luput dari kenakalan khas anak muda. Es krim dan teh botol bukan lagi godaan, tapi hal lain yang katanya pencarian jati diri anak muda, itu lebih menggoda. Tapi bulan ini tetap menjadi bulan yang selalu kurindukan setiap tahunnya, walaupun terlihat kontras. Hitam dan putih berjalan seperti dunia paralel.
Percikan kembang api, ledakan petasan, desingan roket, kaleng bekas yang bergerak sendiri, gelak tawa berandal-berandal kecil, kopiah terbang, kelakar bapakku, air mata ibuku, binar mata kekasihku, senyum sukses sahabatku, kaki Gunung Geulis, jembatan Cincin, suasana maghrib di gerbang kampus, kabut Manglayang, rinai hujan, kemacetan lalu-lintas, pegawai pabrik yang mudik bareng, helikopter polisi yang terbang rendah berputar-putar, stasiun bergerak televisi swasta, pasar tumpah, penjual bunga sedap malem dan… rasa itu.
Sobat-sobat kecilku sekarang entah di mana, paman, sepupu dan saudara-saudaraku sudah hidup masing-masing. Ibuku wafat tiga tahun yang lalu dan bapakku meninggal tiga bulan yang lalu. Mereka menguap seperti asap yang keluar dari ujung rokokku dengan abunya yang belum sempat kubuang.

Aku masih di ruang tamu, sendiri, tersenyum dan sesekali menitikan air mata, menceritakan kekonyolan-kekonyolanku yang seolah belum berakhir. Dan tanpa sadar aku ternyata sedang berkelana mencari kemana perginya bulanku yang hilang, bulan dimana nafas menjadi dzikir dan tidurpun bernilai ibadah. Kemana perginya dia, ya bulanku itu?
Kini, bulan yang dulu begitu kurindukan tak ubahnya dengan sebelas bulan yang lain, bulan-bulan dimana aku hanya tahu berlari seperti seekor hamster dalam roda yang berputar. Hari-hari dimana aku hanya tahu berjalan seperti keledai yang digantungi wortel di depan matanya. Malam-malam yang dihantui oleh komplain apa lagi yang akan datang esok hari. Telefon genggam yang tidak pernah dimatikan. Apakah esok lusa mereka masih mau menggunakanku. Apakah besok pagi istriku masih mencintaiku. Apakah anakku akan tumbuh seperti harapanku.
Aku ingin istirahat sejenak, cuma satu dari dua belas bulan ini. Tanpa rasa ketakutan kehilangan sesuatu yang pada saat terlahir pun aku tidak membawanya. Tanpa harus terengah-engah mengejar sesuatu yang nanti pada saat mati pun aku tidak akan membawanya.

Rabb, Kau dengar aku? Kumohon, tolong kembalikan Ramadhan-ku yang dulu.


Linggajaya, 01 Ramadhan 1432H