Nangkaruka, sebuah perjalanan memorabilia lebaran.

Panorama alam pedesaan nan asri di dusun Nangkaruka - Bungbulang, Garut

Entah apa yang membuat suasana Ramadhan dan Idul Fitri kali ini begitu berbeda dengan tahun-tahun lalu, mungkin karena sekarang kita begitu disibukkan dengan pekerjaan, terengah-engah berupaya menggapai kemapanan yang belum jua tiba, mungkin juga karena baru kali ini lebaran “diundur”. Atau mungkin karena kedua orang tua kami kini telah tiada, yang menambah kehampaan suasana Idul Fitri kali ini. Teringat masa kanak-kanak dulu, lebaran adalah satu hari paling indah dalam setahun, saat itu ayah dan ibu kami selalu mengajak kami mengunjungi sanak famili di kampung, tak peduli sejauh apapun kami selalu menikmati perjalanan ini dengan penuh suka cita.
Tersebutlah sebuah kampung kecil di pedalaman Garut selatan bernama Nangkaruka, berjarak sekitar 100 km dari kota Bandung tempat tinggal kami, di sana banyak tinggal famili dari ayahku. Sekarang saat keduanya telah tiada, ingin rasanya mengulang kembali perjalanan yang telah bertahun-tahun tidak kami lakukan, sekedar untuk “memanjangkan umur” mereka dengan menjaga tali silaturrahim kepada kerabatnya. Ide ini saya sampaikan kepada saudara-saudara terdekat, dan mereka menyambutnya dengan semangat, hasilnya Kamis 1 September 2011 -lebaran hari ke-2- kami berangkat ke Nangkaruka menggunakan dua buah kendaraan jenis pick-up, tak apa, inilah the real Indonesian “mudik” style.

The real Indonesian "mudik" style
Nangkaruka adalah sebuah dusun kecil yang sebenarnya masuk ke dalam kecamatan Pakenjeng, Garut, tapi posisinya lebih dekat ke kecamatan Bungbulang dengan jarak kurang lebih 3,5 km sedangkan dari Pakenjeng sendiri Nangkaruka masih harus ditempuh dengan jarak sekitar 5,8 km. Kecamatan Bungbulang lebih familiar di telinga kita mungkin karena Bungbulang relatif lebih ramai dibanding Pakenjeng, dan kecamatan ini juga terkenal dengan beberapa objek wisata diantaranya pantai Cimari, pantai Cijayana dan pantai Rancabuaya. Nangkaruka terletak pada kordinat 7°26'0" LS dan 107°38'0" BT, berada di ketinggian 779 m di atas permukaan laut (m dpl) dan berjarak sekitar 60 km dari kota Garut.
Pagi-pagi sekali kami bergegas untuk nadran (ziarah kubur) ke makam ayah dan leluhur kami di pinggiran kota Garut, lalu bersiap-siap untuk perjalanan memorabilia ke Garut selatan. Karpet dan kasur lipat dihamparkan di bak mobil, tak lupa bekal makanan serta beberapa buah bantal untuk menambah kenyamanan, walaupun begitu sederhana mudik kali ini terasa begitu menyenangkan. Tak usah khawatir akan panas, karena kita akan menuju dataran tinggi Cikajang (+ 1.200 m dpl) lalu menyusuri hamparan kebun teh di kaki gunung Papandayan dan teduhnya hutan tropis perbukitan Halimun. Let’s roll…!
Nadran (ziarah) ke makam orang tua
Dari pusat kota Garut, kami mengarah ke selatan menuju Cikajang melewati Bayongbong dan Cisurupan, didampingi gunung Papandayan di sebelah kanan dan gunung Cikuray di sebelah kiri yang berdiri dengan gagahnya. Beberapa kali kami menemui bekas persimpangan sisa-sisa rel kereta api masa lalu dengan trayek Garut-Cikajang, diantaranya berada di dekat pasar Cisurupan dan didaerah Cidatar, lalu terbayang keindahan kereta uap “si Gombar” saat melintas di hamparan kebun teh sebelum memasuki stasiun Cikajang. Seolah dengusan nafas tua si Gombar masih terdengar jelas di telinga kami.
Tepat sebelum kota kecamatan Cikajang, kami berbelok ke kanan, menyusuri hamparan perkebunan sayuran yang menjadi sumbu roda perekonomian masyarakat Cikajang. Kebun-kebun tomat, kentang, kubis, bunga kol dan brokoli seperti mozaik di lereng-lereng bukit yang mengantar kami hingga ke kompleks militer Kostrad di Cibuluh, dari kompleks ini banyak diberangkatkan tentara menuju beberapa daerah konflik di dalam dan luar negeri. Kemudian kita memasuki daerah perkebunan teh afdeling Papandayan yang termasuk ke dalam PTPN-VIII Jawa Barat. Kebun teh ini terletak di bagian belakang gunung Papandayan yang kawahnya tepat menghadap ke kota Garut. Papandayan adalah gunung berapi yang masih aktif, kawahnya terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Garut.
Lansekap pegunungan dengan hamparan perkebunan
teh di sepanjang jalan menuju Bungbulang
Di kawasan perkebunan teh ini juga terdapat objek wisata air terjun “Curug Orok” yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Garut. Perkebunan teh Sumbadra dan Arinem yang masih tergabung dalam afdeling Papandayan menghampar bagai permadani hijau sampai ke daerah Cisandaan. Cisandaan merupakan salah satu perhentian Elf (sebutan untuk kendaraan angkutan umum sejenis mikrobus), di sini ada sebuah rumah makan sederhana yang menyajikan hidangan khas Sunda, dulu kami sering berhenti sejenak untuk shalat sambil melepas lelah sekalian mengisi perut.
Dari Cisandaan, jalanan mulai menurun agak curam, tikungan-tikungan tajam dan jalan yang semakin sempit saat memasuki hutan di lereng perbukitan Halimun, pemandangan pun berganti dari perkebunan teh menjadi hutan tropis yang konon masih banyak dihuni satwa liar. Di hutan ini kami sempat menolong pemudik bersepeda motor yang mengalami kecelakaan karena as roda depannya patah saat mengerem karena tidak kuat menahan beban penumpang di turunan yang curam, motornya dinaikkan ke bak mobil kami sampai menemukan bengkel terdekat dan penumpangnya dirawat di puskesmas.
Sungai Cikandang yang asri dengan airnya yang bersih
Dasar lembah di hutan Halimun adalah sebuah jembatan dengan sungai di bawahnya, jika bukan lebaran suasana di sini sepi dan bulu kuduk akan merinding jika mendengar kisah-kisah seputar jembatan tersebut di masa revolusi dulu. Sesudah melewati jembatan pertama itu, jalanan akan terus menanjak menyusuri hutan sampai ke kecamatan Pakenjeng. Dari Pakenjeng jalanan kembali menurun, kali ini dengan pudunan-pudunan panjang dan kemiringan yang lebih curam. Bagi pengendara harus ekstra berhati-hati karena ada beberapa bagian jalan yang longsor dan sedang diperbaiki.
Bukit batu berdinding vertikal yang dikenal sebagai
"Gunung Wayang"
Kemudian kita akan sampai di jembatan ke dua yang berkonstruksi baja, masyarakat sekitar menyebutnya jembatan Tonjong, dibawahnya mengalir sungai Cikandang yang lebar dan berarus deras. Sungai berbatu-batu dengan airnya yang masih bersih itu cocok untuk digunakan sebagai tempat olah raga arung jeram (rafting). Setelah melewati jembatan Tonjong, kita akan menemukan sebuah bukit yang tersusun dari batu, dindingnya tegak vertikal dengan tinggi hampir mencapai 100 meter. Masyarakat setempat menyebutnya gunung Wayang, terkait dengan mitos yang mengatakan di malam-malam tertentu kadang terdengar seperti ada suara gending seperti dalam pertunjukan wayang golek.
Foto bersama dulur di lembur sebelum pulang
Sampai di desa Bojong, kami belok kanan memasuki jalan kecil, kali ini tantangannya lain lagi, light off-road! Dari pertigaan itu, kami harus melewati jalanan rusak sepanjang 1.8 km dengan batu-batu hampir sebesar kepala sampai ke dusun Nangkaruka, dan akhirnya tibalah kami di sana. Famili kami di Nangkaruka begitu terkejut dengan kehadiran kami setelah bertahun-tahun tidak berkunjung ke sana. Jika ayah masih ada, pastilah ia akan minta dibuatkan cobek ayam atau cobek ikan mas, masakan khas berupa lauk ayam atau ikan yang dipanggang terlebih dahulu lalu disiram kuah santan. Sore hari sebelum turun kabut kami bergegas pulang dengan bak mobil dipenuhi oleh-oleh opak Bungbulang, penganan khas sejenis kerupuk yang terbuat dari beras ketan yang dipanggang. Terimakasih bagi kedua orang tua kami yang selalu mengajarkan kami untuk selalu menjaga tali silaturahmi. (WL)

Deyza Kamei (3 bln) dan Ainun Nadin (3 bln)
"the off-roader babies"