Baraya Cianjur

Cianjur district, is a district in West Java province, Indonesia. The capital is located in the district of Cianjur.

Mosque Agung Cianjur

Cianjur magnificent Grand Mosque is located in the center of Cianjur which was first built in 1810 AD by residents Cianjur unrecorded names. Built on waqf land Ny. Raden Bodedar bint Kangjeng Sabiruddin Dalem, Regent Cianjur to – 4.

Situs Gunung Padang

Situs Gunung Padang Mountain site is located in Kampung Padang Padang and Kampung Gunung Panggulan , Village Karyamukti Campaka District , Cianjur.

Tomb Dalem Cikundul

tomb where dimakamkannya Regent Cianjur First, R. Wira Tanu Aria Aria Wangsa Bin Goparana (1677 - 1691) who became known by the name of Dalem Cikundull.

STASIUN CIANJUR

is a railway station located on Jl. Julius Usman, darling, Cianjur, Cianjur Cianjur central.

Tintin di Indonesia

           Menonton program petualangan “Ekspedisi Cincin Api” yang ditayangkan di Kompas-TV, menggelitik fikiran saya tentang kondisi geografis negeri ini yang memiliki gunung api terbanyak di dunia karena dilintasi barisan gunung-gunung berapi dunia yang dikenal sebagai “ring of fire” (cincin api). Hal ini yang menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia memiliki tanah yang subur, yang diakibatkan oleh muntahan material vulkanik yang kerap dikeluarkan saat gunung berapi meletus. Bahkan karena kondisi alam yang sedemikian, beberapa waktu lalu dunia sempat dihebohkan oleh sebuah buku yang menyatakan bahwa Indonesia adalah benua Atlantis yang hilang.
Kekayaan alam Indonesia yang menawan –salah satunya Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan banyak gunung berapi– mungkin saja mengilhami Georges Prosper Remi (1907-1983) alias Hergé si pengarang komik serial Petualangan Tintin untuk membuat salah satu komiknya ber-setting di Indonesia. Pada komik Petualangan Tintin berjudul “Penerbangan 714 ke Sydney” yang dibuat pada tahun 1966, Tintin, Milo (Snowy), Kapten Haddock dan Profesor Lakmus (Prof. Calculus), memulai petualangannya di Indonesia (aslinya disebutkan Sondonesia) ketika secara tidak sengaja pesawat yang mereka tumpangi dibajak dan dipaksa mendarat di sebuah pulau terpencil.
Alkisah dalam komik tersebut diceritakan sebelum melanjutkan perjalanan ke Sydney, pesawat Boeing 707 dengan nomor penerbangan 714 dari London yang ditumpangi Tintin dkk., transit terlebih dahulu di Jakarta International Airport yang ketika itu masih berlokasi di Kemayoran (Kemajoran International Airport – Djakarta). Tapi dalam komik Tintin saat masih diterbitkan oleh Indira (berjudul “Penerbangan 714” saja, tanpa “ke Sydney”) disebutkan Tintin mendarat di Cengkareng. Mungkin saat komik aslinya dibuat pada tahun 1966 bandara Cengkareng belum ada dan masih menggunakan bandara Kemayoran yang sekarang dijadikan lokasi Pekan Raya Jakarta (PRJ).
 








Di Jakarta, Tintin dkk. bertemu teman lamanya Kapten Szut yang telah menjadi pilot pribadi miliuner Laszlo Carreidas. Sang miliyuner mengajak serta Tintin dkk. untuk menumpangi pesawat jet pribadinya, Carriedas-160 tujuan Sydney. Di perjalanan, pesawat tersebut sempat melakukan kontak udara dengan menara kontrol yang ada di Mataram dan Makassar sesaat sebelum dibajak. Bahkan ketika terbang rendah di perairan Indonesia karena menghindari pantauan radar, pesawat jet yang dibajak itu sempat merangsek layar perahu Phinisi milik salah satu nelayan Indonesia. Disitu terlihat sang nelayan mengucapkan sumpah serapah dengan bahasa Indonesia yang kaku, "kurang adjar! Apa tidak bissa djaga sampoenja lajar! apa gila!", mungkin maksudnya begini “kurang ajar! Apa tidak bisa lihat layar kapal? Sudah gila apa?”.
Pesawat yang ditumpangi Tintin dkk. mendarat darurat di sebuah pulau kecil bernama Pulau Bompa yang kurang lebih berada di Indonesia Timur, diceritakan pulau tersebut terletak di Laut Sulawesi dan di pulau itu terdapat gunung berapi aktif sebagai rangkaian dari sabuk gunung api dunia (ring of fire). Di pulau itu terdapat beberapa milisi lokal yang dipekerjakan musuh bebuyutan Tintin, Rastapopoulos dalam melakukan pembajakan pesawat Carriedas. Sang milisi nampak menggunakan pakaian tradisional Indonesia, seperti kopiah dan ikat kepala khas daerah Sulawesi. Selain itu, di pulau tersebut digambarkan fauna khas Indonesia seperti Komodo, burung Rangkong dan monyet Bekantan yang berhidung besar.
Ending dari komik tersebut menceritakan kegagalan para pembajak yang menyandera sang Milyuner untuk mendapatkan uang, karena gunung berapi di pulau itu meletus dan mereka harus menyelamatkan diri masing-masing. Disitu juga digambarkan Tintin dan teman-teman melarikan diri hingga menemukan situs purbakala di dalam goa dengan relief-relief mirip dengan yang ada situs-situs purbakala di Indonesia Timur. Sebagai bumbu cerita Hergé menambahkan UFO yang membantu menyelamatkan Tintin dkk. untuk bisa keluar dari pulau dengan selamat. Mungkin saat komik ini dibuat, isu-isu seputar UFO dan dunia ruang angkasa mulai sering diperbincangkan, mengingat tema UFO belum pernah muncul pada serial Tintin sebelumnya yang rata-rata ber-setting antara tahun 1930-an hingga awal 1960-an.
Saat ini, kisah petualangan Tintin di Nusantara dijadikan salah satu ikon persahabatan Belgia dan Indonesia, sebab komik karangan Hergé –yang merupakan orang Belgia– begitu melegenda di Indonesia. Menurut Antaranews (12/03/2011), konsul kehormatan RI di Belgia, Eric Domb, menyerahkan reproduksi beberapa cuplikan gambar komik Tintin "Flight 714 to Sydney" kepada Dubes RI di Brusel yang diwakili oleh Sekretaris Tiga Pensosbud KBRI Brusel, Royhan N. Wahab sebagai symbol kedekatan Indonesia-Belgia melalui media komik. Dalam hal ini Eric Domb bertindak sebagai wakil resmi Fanny Rodwell, janda mendiang Hergé, pemilik dan memegang hak cipta atas seluruh komik Tintin karya Hergé. Eric Domb juga mengatakan bahwa keluarga Hergé tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya, sumbangan ini adalah yang pertama kali dilakukan keluarga Hergé. (WL)

Referensi: Uniknya.com dan Antaranews

Jalur Lingkar Nagreg yang Pangling


Wajah baru jalur Lintas Nagreg
     Jika anda melakukan perjalanan mudik melewati jalur selatan dari dan ke arah Garut maupun Tasikmalaya pada lebaran 2011 ini, anda akan menemukan sesuatu yang baru, yaitu wajah baru jalur Lingkar Nagreg. Sejak dulu kawasan tanjakan Nagreg selalu menjadi momok bagi pemudik jalur selatan setiap kali musim mudik lebaran tiba. Selain tanjakan yang curam dan panjang, kemacetan di kawasan ini juga diperparah dengan adanya percabangan jalur menuju ke Tasikmalaya dan Garut serta persimpangan rel kereta api yang berada di puncak perbukitan Nagreg.
Jalur Lintas Nagreg yang lewat dibawah rel kereta api
cukup mengurangi kemacetan di kawasan ini
     Hal ini mendorong pemerintah membuka jalan baru yang dikenal sebagai Lingkar Nagreg sebagai solusi terhadap kemacetan parah di kawasan Nagreg yang kerap terjadi setiap musim liburan tiba. Lingkar Nagreg terpisah dari jalan Nagreg lama, arus lalu lintasnya dibuat searah dan tidak melewati persimpangan rel kereta api, walaupun masih cukup menanjak. Jarak jalur Lingkar Nagreg juga lebih panjang dibanding jalan Nagreg lama karena harus memutari perbukitan untuk mengurangi tingkat kecuraman tanjakan.
     Sebenarnya jalur ini sudah dibuka sejak setahun yang lalu untuk mengurangi kemacetan pada arus mudik 2010, tapi belum begitu efektif dikarenakan kemiringan tanjakan masih agak curam, jadi banyak kendaraan yang mogok. Tetapi pada lebaran kali ini, jalur sepanjang 5,3 km yang telah dibuka sejak H-10 Idul Fitri 2011 itu cukup efektif dalam mengurangi kemacetan di kawasan Nagreg.
      Hal ini disebabkan dalam setahun ini telah dilakukan perbaikan pada jalur tersebut secara terus menerus, diantaranya adalah mengurangi tingkat kemiringan jalan dari 18 persen menjadi 10 persen yang membuat kendaraan tidak begitu kepayahan saat melintasi jalur Lingkar Nagreg. Jalur ini beberapa waktu lalu memang cukup unik, walaupun kelihatannya tidak begitu menanjak seperti di jalan Nagreg lama tapi bisa membuat pengemudi harus memindahkan transmisi kendaraannya ke gigi terrendah.
Semi-tunnel yang terbuat dari beton
     Selain menurunkan tingkat kecuraman pada tanjakan, jalur Lingkar Nagreg pun menerapkan dua inovasi teknologi, yaitu “beronjong-berangkur” dan “dinding turap” (corrugated sheet pile) yang menjadikan ikon baru pada jalur ini. Beronjong-berangkur adalah tumpukan beton yang disusun vertikal hingga mencapai tinggi 40 meter sebagai penyangga jalan Lintas Nagreg, fungsinya untuk meredam getaran jika terjadi gempa bumi. Jalur Lintas Nagreg juga membelah sebuah bukit yang membuat jalur ini solah diapit dua tebing di kiri dan kanannya. Untuk mengantisipasi longsoran maka dibuatkan deretan pilar-pilar beton sesebanyak 130 buah dengan tinggi 15 meter di kedua sisi jalan dan bagian atasnya juga dihubungkan dengan bentangan beton secara selang-seling. Deretan beton dinding turap (corrugated sheet pile) tersebut hampir membentuk sebuah terowongan (semi tunnel) sepanjang 400 meter dengan atap terbuka selang seling.
     Lebaran tahun ini yang bertepatan dengan musim kemarau membuat perbukitan sekitar jalur Lintas Nagreg menjadi kering dan saat angin bertiup kencang jalanan menjadi berdebu akibat tanah di bahu jalan yang belum mengeras. Ditambah lagi kedua inovasi anak bangsa tersebut menjadikan jalur Lintas Nagreg sekarang memiliki wajah baru. Saat melintasi jalur ini terasa begitu pangling, tidak seperti sedang di Nagreg, tapi serasa sedang berada di Timur Tengah. (WL)

Nangkaruka, sebuah perjalanan memorabilia lebaran.

Panorama alam pedesaan nan asri di dusun Nangkaruka - Bungbulang, Garut

Entah apa yang membuat suasana Ramadhan dan Idul Fitri kali ini begitu berbeda dengan tahun-tahun lalu, mungkin karena sekarang kita begitu disibukkan dengan pekerjaan, terengah-engah berupaya menggapai kemapanan yang belum jua tiba, mungkin juga karena baru kali ini lebaran “diundur”. Atau mungkin karena kedua orang tua kami kini telah tiada, yang menambah kehampaan suasana Idul Fitri kali ini. Teringat masa kanak-kanak dulu, lebaran adalah satu hari paling indah dalam setahun, saat itu ayah dan ibu kami selalu mengajak kami mengunjungi sanak famili di kampung, tak peduli sejauh apapun kami selalu menikmati perjalanan ini dengan penuh suka cita.
Tersebutlah sebuah kampung kecil di pedalaman Garut selatan bernama Nangkaruka, berjarak sekitar 100 km dari kota Bandung tempat tinggal kami, di sana banyak tinggal famili dari ayahku. Sekarang saat keduanya telah tiada, ingin rasanya mengulang kembali perjalanan yang telah bertahun-tahun tidak kami lakukan, sekedar untuk “memanjangkan umur” mereka dengan menjaga tali silaturrahim kepada kerabatnya. Ide ini saya sampaikan kepada saudara-saudara terdekat, dan mereka menyambutnya dengan semangat, hasilnya Kamis 1 September 2011 -lebaran hari ke-2- kami berangkat ke Nangkaruka menggunakan dua buah kendaraan jenis pick-up, tak apa, inilah the real Indonesian “mudik” style.

The real Indonesian "mudik" style
Nangkaruka adalah sebuah dusun kecil yang sebenarnya masuk ke dalam kecamatan Pakenjeng, Garut, tapi posisinya lebih dekat ke kecamatan Bungbulang dengan jarak kurang lebih 3,5 km sedangkan dari Pakenjeng sendiri Nangkaruka masih harus ditempuh dengan jarak sekitar 5,8 km. Kecamatan Bungbulang lebih familiar di telinga kita mungkin karena Bungbulang relatif lebih ramai dibanding Pakenjeng, dan kecamatan ini juga terkenal dengan beberapa objek wisata diantaranya pantai Cimari, pantai Cijayana dan pantai Rancabuaya. Nangkaruka terletak pada kordinat 7°26'0" LS dan 107°38'0" BT, berada di ketinggian 779 m di atas permukaan laut (m dpl) dan berjarak sekitar 60 km dari kota Garut.
Pagi-pagi sekali kami bergegas untuk nadran (ziarah kubur) ke makam ayah dan leluhur kami di pinggiran kota Garut, lalu bersiap-siap untuk perjalanan memorabilia ke Garut selatan. Karpet dan kasur lipat dihamparkan di bak mobil, tak lupa bekal makanan serta beberapa buah bantal untuk menambah kenyamanan, walaupun begitu sederhana mudik kali ini terasa begitu menyenangkan. Tak usah khawatir akan panas, karena kita akan menuju dataran tinggi Cikajang (+ 1.200 m dpl) lalu menyusuri hamparan kebun teh di kaki gunung Papandayan dan teduhnya hutan tropis perbukitan Halimun. Let’s roll…!
Nadran (ziarah) ke makam orang tua
Dari pusat kota Garut, kami mengarah ke selatan menuju Cikajang melewati Bayongbong dan Cisurupan, didampingi gunung Papandayan di sebelah kanan dan gunung Cikuray di sebelah kiri yang berdiri dengan gagahnya. Beberapa kali kami menemui bekas persimpangan sisa-sisa rel kereta api masa lalu dengan trayek Garut-Cikajang, diantaranya berada di dekat pasar Cisurupan dan didaerah Cidatar, lalu terbayang keindahan kereta uap “si Gombar” saat melintas di hamparan kebun teh sebelum memasuki stasiun Cikajang. Seolah dengusan nafas tua si Gombar masih terdengar jelas di telinga kami.
Tepat sebelum kota kecamatan Cikajang, kami berbelok ke kanan, menyusuri hamparan perkebunan sayuran yang menjadi sumbu roda perekonomian masyarakat Cikajang. Kebun-kebun tomat, kentang, kubis, bunga kol dan brokoli seperti mozaik di lereng-lereng bukit yang mengantar kami hingga ke kompleks militer Kostrad di Cibuluh, dari kompleks ini banyak diberangkatkan tentara menuju beberapa daerah konflik di dalam dan luar negeri. Kemudian kita memasuki daerah perkebunan teh afdeling Papandayan yang termasuk ke dalam PTPN-VIII Jawa Barat. Kebun teh ini terletak di bagian belakang gunung Papandayan yang kawahnya tepat menghadap ke kota Garut. Papandayan adalah gunung berapi yang masih aktif, kawahnya terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Garut.
Lansekap pegunungan dengan hamparan perkebunan
teh di sepanjang jalan menuju Bungbulang
Di kawasan perkebunan teh ini juga terdapat objek wisata air terjun “Curug Orok” yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Garut. Perkebunan teh Sumbadra dan Arinem yang masih tergabung dalam afdeling Papandayan menghampar bagai permadani hijau sampai ke daerah Cisandaan. Cisandaan merupakan salah satu perhentian Elf (sebutan untuk kendaraan angkutan umum sejenis mikrobus), di sini ada sebuah rumah makan sederhana yang menyajikan hidangan khas Sunda, dulu kami sering berhenti sejenak untuk shalat sambil melepas lelah sekalian mengisi perut.
Dari Cisandaan, jalanan mulai menurun agak curam, tikungan-tikungan tajam dan jalan yang semakin sempit saat memasuki hutan di lereng perbukitan Halimun, pemandangan pun berganti dari perkebunan teh menjadi hutan tropis yang konon masih banyak dihuni satwa liar. Di hutan ini kami sempat menolong pemudik bersepeda motor yang mengalami kecelakaan karena as roda depannya patah saat mengerem karena tidak kuat menahan beban penumpang di turunan yang curam, motornya dinaikkan ke bak mobil kami sampai menemukan bengkel terdekat dan penumpangnya dirawat di puskesmas.
Sungai Cikandang yang asri dengan airnya yang bersih
Dasar lembah di hutan Halimun adalah sebuah jembatan dengan sungai di bawahnya, jika bukan lebaran suasana di sini sepi dan bulu kuduk akan merinding jika mendengar kisah-kisah seputar jembatan tersebut di masa revolusi dulu. Sesudah melewati jembatan pertama itu, jalanan akan terus menanjak menyusuri hutan sampai ke kecamatan Pakenjeng. Dari Pakenjeng jalanan kembali menurun, kali ini dengan pudunan-pudunan panjang dan kemiringan yang lebih curam. Bagi pengendara harus ekstra berhati-hati karena ada beberapa bagian jalan yang longsor dan sedang diperbaiki.
Bukit batu berdinding vertikal yang dikenal sebagai
"Gunung Wayang"
Kemudian kita akan sampai di jembatan ke dua yang berkonstruksi baja, masyarakat sekitar menyebutnya jembatan Tonjong, dibawahnya mengalir sungai Cikandang yang lebar dan berarus deras. Sungai berbatu-batu dengan airnya yang masih bersih itu cocok untuk digunakan sebagai tempat olah raga arung jeram (rafting). Setelah melewati jembatan Tonjong, kita akan menemukan sebuah bukit yang tersusun dari batu, dindingnya tegak vertikal dengan tinggi hampir mencapai 100 meter. Masyarakat setempat menyebutnya gunung Wayang, terkait dengan mitos yang mengatakan di malam-malam tertentu kadang terdengar seperti ada suara gending seperti dalam pertunjukan wayang golek.
Foto bersama dulur di lembur sebelum pulang
Sampai di desa Bojong, kami belok kanan memasuki jalan kecil, kali ini tantangannya lain lagi, light off-road! Dari pertigaan itu, kami harus melewati jalanan rusak sepanjang 1.8 km dengan batu-batu hampir sebesar kepala sampai ke dusun Nangkaruka, dan akhirnya tibalah kami di sana. Famili kami di Nangkaruka begitu terkejut dengan kehadiran kami setelah bertahun-tahun tidak berkunjung ke sana. Jika ayah masih ada, pastilah ia akan minta dibuatkan cobek ayam atau cobek ikan mas, masakan khas berupa lauk ayam atau ikan yang dipanggang terlebih dahulu lalu disiram kuah santan. Sore hari sebelum turun kabut kami bergegas pulang dengan bak mobil dipenuhi oleh-oleh opak Bungbulang, penganan khas sejenis kerupuk yang terbuat dari beras ketan yang dipanggang. Terimakasih bagi kedua orang tua kami yang selalu mengajarkan kami untuk selalu menjaga tali silaturahmi. (WL)

Deyza Kamei (3 bln) dan Ainun Nadin (3 bln)
"the off-roader babies"

Selamat Idul Fitri 1432H