Kaulah sepiku…

Aku duduk di bangku dekat pantai Chorniche, menikmati lekukan bibir pantai yang hampir setengah lingkaran sambil memandangi beberapa gadis berbalut jubah hitam bercanda dan tertawa, aku pun tersenyum dan membagi banyak cerita kepadamu yang duduk di sebelahku, sahabatku. Tentang hidup, tentang gelora asa, tentang bahagia, tentang obsesi bahkan tentang cinta. Di sudut lain, beberapa pria tampak terpaku memegang joran, sebagian lain melempar kail. Tak kalah dengan gadis-gadis itu, kita pun tertawa, kadang terbahak kadang cuma tersenyum lalu kita diam sejenak. Lalu kamu menimpal dan suasana pun kembali hangat, kau masih ingat betapa ku begitu berusaha untuk bisa sampai di sini, kau ungkapkan lagi cerita-cerita mengharukan waktu dua kali permohonan pembuatan passport-ku di tolak bahkan lima belas menit sebelum take-off pun aku masih berurusan dengan semrawutnya birokrasi di negeri kita. Kau ceritakan lagi semua itu dengan gayamu yang lucu sehingga membuatku terpingkal mengingatnya.

Musik gambus menghentak dari sound-system perahu kayu yang tertambat di bibir pantai. Beberapa remaja berwajah melayu melintas di pedestrian Chorniche dengan keripik dan soft-drink di tangan mereka. Aku berdiri dan berjalan ke bibir pantai, kau pun mengikuti. Lalu aku ceritakan padamu tentang lucunya tingkah anakku, kecantikan istriku, gubuk kecil kami sampai-sampai serunya obrolan kita pun merambah hingga ke nakalnya masa mudaku, kau pun menimpalinya dengan seru. Kau bubuhi cerita-cerita seputar kekonyolanku saat ku menggoda gadis-gadis di kampusku, dan kau menceritakan dengan detil bagaimana mereka menolak cintaku. Kau bilang “untung saja mereka menolak cintamu, kalau nggak mereka bakal menderita seperti istrimu sekarang, hahaha…” kau berkelakar, dan aku cuma menjawab “ah, dasar lu…!”. Lalu kita berdua kembali terbahak mengingat semua itu hingga beberapa dari remaja berwajah melayu itu pun menengok ke arah kita. Waktu langit mulai jingga, tawa kita pun pecah di antara deretan gedung pencakar langit kota Doha.


Seorang gadis bule dengan ear-phone nyangkut di kuping berlari kecil di jogging-track yang meliuk-liuk, bagian depan tank-topnya mulai dibasahi keringat. Aku lesu tertunduk di bangku stainless-steel di tengah hijaunya hamparan rumput Aspire-Park, sesekali aku menengok ke arah jembatan waktu terowongan air mancur di danau Aspire mulai menyembur. Kamu datang menghampiriku membawa satu cup Brazilian dark-roast dan menyapaku “yoo… whazzup bro…?” Aku menjawab sapaanmu dengan seribu keluhan tentang jemunya hari-hari yang ku jalani, tentang keberadaanku yang seolah tiada, tentang bayanganku yang mulai tak nampak di cermin, tentang suara yang tak bisa keluar dari mulutku, kau terdiam, berusaha menyimak setiap kata yang aku ucapkan. Sesekali kamu mengangguk mengiyakan, seolah mengerti perasaanku kamu bilang “sudahlah, nikmati saja sore ini…”

Beberapa keluarga tampak asik menggelar berpiknik, anak-anak kecil berlarian, beberapa diantaranya bermain sepeda. Bayi-bayi terlelap dalam kereta dibuai sepoi angin sore. Beberapa wanita memakai saree, sebagian bercadar, beberapa di antaranya berjilbab kasual, semua tampak ceria di mataku. Beberapa pasang kulit putih bermandi keringat karena berlari kecil berkeliling taman.

Aku, aku berdua denganmu, sahabatku. Memang, kamu memang sahabatku yang paling mengerti aku, tak sedikitpun kupungkiri itu. Saat ini aku ingin sekali memotong dan berkata “tapi…!” sayang kau keburu melanjutkan kata-katamu, sembari menepuk bahuku “yalla! habiskan kopimu, sebentar lagi pun hari ini akan berganti esok…” Burung hoopoe dan bulbul berloncatan memungut biji-biji rumput yang mulai ramai berbunga. Dari sudut mata terlihat silhouette bottle-tree menghitam di hamparan rumput yang mulai berubah jingga keemasan diterpa mentari sore. “tempatku… bukan disini…” gumamku melanjutkan kata-kata yang belum sempat terucapkan sambil beranjak dari bangku besi itu.


Selepas Gharrafa interchange aku berlari ke utara, melesat di Shamal highway melewati batas kecepatan sampai terdengar bunyi “tuut…tuut…tuut…” dari dalam kabinku, aku tak peduli. Seraknya Eddie Vadder hampir tertutup deru mesin dan jendela yang sedikit kubuka untuk membuang asap rokok dari kabin. Kau duduk di sebelahku, tangan kananmu memegang handle di atas pintu dan tangan kirimu meremas jok, sambil tertawa kamu meledekku untuk terus menambah kecepatan, lagi rokokmu kau bakar, aku pun sama. Jari tengah kau acungkan ke arah maniak edan yang berusaha memotong jalur kita, aku tertawa, sampai di jembatan ke-tiga aku berbelok ke kanan sampai habis jalanan, pedal masih kuinjak sampai membuat pusaran debu di belakangku. Membelah gurun Lusail kita berlari waktu matahari tepat di ubun-ubun di atas panasnya tanah padas yang keras.

Di tengah sahara dekat pesisir Shimaisma kita berhenti, debu akibat ulahku berhamburan seketika. Tak ada Prosopsis, Acacia atau Zizyphus untuk berteduh, mata sang hari nanar menatap kita. Pintu kubuka, sambil terus tertawa dengan langkah gontai aku berjalan ke luar menembus pekatnya butiran pasir yang masih melayang di udara, kau pun turut ke luar, sambil saling menggandeng pundak kita berteriak-teriak seperti orang mabuk. Bagai seorang gila aku menceracau, dan kau ikut memaki, aku menyumpah serapah kau pun turut mengutuk. Waktu aku memaki diriku yang tak pernah bisa menjadi sesuatu kau tertawa, waktu kamu meneriaki polosnya aku yang dengan mudah bisa mereka manfaatkan aku terbahak. Keras-keras kita memaki orang-orang bodoh yang selalu ingin terlihat pintar. Lalu kau naik ke atas kap mesin membuka kausmu sampai bertelanjang dada dan berteriak seperti komandan lapangan waktu ospek, “bedebaaah kalian semuaaaa…!!!” makimu sembari rokok masih terapit di jari. Aku Cuma bisa terpingkal melihat tingkahmu yang rock-n-roll itu. Kau loncat sekerasnya ke arahku hingga terhempas tubuh kita jatuh telentang di atas kerikil padas yang menyilaukan itu, kita mengepalkan tangan ke atas menantang matahari. Umpatan demi umpatan kita lepaskan terkadang tak terasa liur pun ikut memuntah ke udara.


“Cheers…!” dua botol Barbican beradu di atas deretan lime-stone yang bersusun rapi memecah riak kecil di dermaga Wakra. Deretan perahu nelayan dan yacht milik orang-orang kaya itu berbaris rapi melepas mentari yang mulai tak nampak. Di sini bukan tempat yang indah untuk melihat sunset karena kita masih berada di sisi timur negeri ini, tapi lumayan lah untuk sejenak melepaskan beban. Dari kejauhan terlihat bangunan-bangunan tradisional beratap kotak dengan kaso kayu dolken yang menjulur acak serta bertembok tanah liat seperti sengaja dilestarikan sebagai pengingat bahwa negeri ini pernah mashur sebagai penghasil mutiara. Para penyelam tradisional itu kini telah renta dan cuma menjadi nostalgi yang terpampang di toko-toko suvenir di Souq Waqif. Dan generasi kawat gigi masa kini lebih suka menjadi raja jalanan di atas Land Cruiser bapaknya. Kemilau emas hitam telah mengalahkan beningnya mutiara laut.

Kita masih duduk-duduk di atas barisan bebatuan dermaga yang tersusun rapi memandangi para pemancing yang satu persatu beranjak pulang. Sebentar lagi maghrib. Masih berbagi cerita, saling melepas keluh dan sama-sama memanjakan emosi. Sisa sepertiga punyaku, dan kulihat kau mengangkat botolmu tinggi-tinggi seolah tak rela kehilangan tetes terakhir. Aku tersenyum melihatmu, ya… kamu, sahabatku, sang sunyi. Waktu tak satupun mengerti aku, kamulah yang selalu tetap di sisiku. Kamulah diam dalam lelehan keluhku, kamulah gelas yang pecah dalam setiap marahku, kamulah gema dalam teriakku, kamulah bayangan di setiap langkahku, kamulah senyum di rasa senangku. Kamulah kertas, kamulah grafit, kamulah pena, kamulah nada. Kau pantai, kau angin, kau pasir, kau lampu jalan, kau biji kopi, kau asap rokok. Kaulah sepiku, sahabat sejatiku.


Di sudut kamar kau tersenyum padaku, menyuruhku tidur dan berhenti mengetik tulisan ini. Karena besok…… besok adalah hari sesudah hari ini. (WL)